Mengeja Ideologi Negara Bangsa di Tanah Tumbuh Sunyi (Telaah Semiotika Tonil Djula Gubi Karya Bung Karno)
DOI:
https://doi.org/10.54371/jiip.v7i2.3972Abstract
Tulisan ini bertujuan memeriksa pikiran Soekarno tentang negara bangsa yang direpresentasikan dalam bentuk Tonil selama masa pembuangannya di Ende (1934-1938). Pembuangan di Ende merupakan usaha Belanda untuk menggunting arus koneksitas Bung Karno dengan massa Jawa dan perkumpulan politik yang menghidupkan api perjuangan. Di kota kecil yang jauh dan rabun dari perapian politik, Bung Karno diganjar kesepian epsitemik yang begitu akut. Namun, kesepian akut itu pula yang merimbunkan talenta seninya untuk menggarap tonil-tonil. Memeriksa pikiran Bung Karno dalam tonil menggunakan teori semiotika atau ilmu tanda, terutama perspektif Chales Sander Peirce. Pemilihan kajian semiotik sesungguhnya karena objek yang dikaji adalah lakon (tonil). Karya seni sejenis tonil, sandiwara atau film adalah tanda yang merepresentasi makna atau peristiwa tertentu. Peirce mengategorikan tanda atas representamen, objek yang dirujuk tanda, dan interpretant yakni makna atau konsep yang digunakan oleh pemakai tanda. Salah satu tonil (sandiwara) yang sangat kuat menyampaikan pesan persatuan adalah Djula Gubi. Judul yang diambil dari nama tokoh utama, seorang putra Irian yang sering dilecehkan oleh teman-temannya karena perbedaan warna kulit. Perbedaan itulah yang menyebabkan Indonesia kesulitan bersatu untuk melawan penjajah. Dalam posisi demikian Bung Karno berada di simpang simalakama. Pada satu simpang, ia harus mempersatukan Indonesia yang beragam dengan derivasi perbedaannya. Pada sisi lain, ia harus berjuang melawan kolonial Belanda. Padahal, perjuangan melawan penjajah hanya berhasil bila bangsa Indonesia bersatu. Gagasan inilah yang menjadi ion-ion pembentuk salah satu sila Pancasila yakni “Persatuan Indonesia.